Sujud Panjangku
Tepat fajar ini aku berhenti mendesak Tuhanku agak melunakkan hatimu. Ku rasa, aku keterlaluan dalam meminta, sampai-sampai terkesan mendesak. Semakin sering ku bersujud, semakin jauh harapan itu terwujud. Bukan menyalahkan takdir, melainkan Allah tidak ingin aku terus mengemis demi seorang hamba. Mau heran, tapi ini jalur langit.
Maaf jika masih mengharapkanmu bahkan lancang terkadang juga merindu. Namun tak pernah terbesit untuk memilikimu. Terimaksih telah membuatku sebahagia itu, maaf atas segala kesalahanku yang mungkin membuat lukamu semakin dalam, meskipun tak ada niat untuk itu. Namun, kau juga jahat dalam ceritaku, bukan gimana-gimana, kamu pergi setelah semua yang kita rencanakan. Tak sedikit omong kosongmu tentang masa depan, kini baru ku sadar ternyata itu hanya menarik simpatiku yang tak lain hanya fiktif.
28 November menjelang fajar, terimakasih telah hadir penuh senyum yang berkesan. Aku terjaga. Terlihat keikhlasan dari sorot matamu, saat ku beranjak mengambil hp yang baru saja kau bawa lantaran kecurigaanmu. Kau benahi rumahku yang telah lama kosong, bahkan kau warnai agar ku nyaman menginap atau sekedar singgah lalu pergi berkelana untuk melepasmu.
Ulasan senyum juga pernah kau tebarkan ketika kau duduk tenang dengan jaket biru muda berlengan putih tulang. Dan kaupun tersenyum seolah mengatakan “Tak apa, aku sudah memaafkan” kemudian kau memudar dan pelan ku buka mata, hanya ada dentingan jam di sepertiga malam. Berusaha kau mengingat kembali bayangan mu, hati yang dari tadi gusar pun menggumam “Kau bilang seperti itu karena kau mau pergi atau barangkali kalau menyuruhku ikhlas karena kau telah berpunya, tentu lebih cantik”.
Andai kau tau, kau datang dalam mimpi adalah pertemuan yang ditakdirkan. Dimana fisik tak bertemu namun dengan bebas aku bisa memandangmu, bahkan mengerti apa yang ingin kau utarakan. Andai kau tau, beberapa kali aku memimpikanmu hingga aku pernah seyakin itu bahwa kau mampu menerima ku setelah kau tahu siapa aku. Sebab sudah kesekian kalinya kau menyelinap dalam mimpiku. Hal itu membawa keberanian untuk menyatakan pada Rabb-ku. Jika do’a itu dapat terlihat wujudnya, mungkin langit akan dipenuhi namamu.
Aku memang menaruh rasa padamu. Dengan dalih istikhoroh yang ku mulai beberapa bulan lalu, hingga tepat pada fajar ini aku berhenti dari sujud panjang itu. Bukannya menyerah, aku rasa semua akan sia-sia jika kita tak sepaham. Beda keyakinan itu pasti, aku yang yakin sama kamu, tapi kamu tidak yakin denganku.
Kita adalah dua orang yang gagal, kamu gagal memahami caraku mencintaimu, dan aku gagal memahamimu untuk dicintai. Mungkin benar, fisik yang menjadi pertimbanganmu. Aku tak menyalahkan itu, karena wanita yang cantik bisa menyejukkan pandangamu barangkali.
Kini ku akhiri sujud panjang istikhoroh karena telah menemukan jawaban yang sebenarnya. Iya benar, jawabannya adalah melepaskan namamu dalam untaian do’a selama ini. Tidak lagi kagum apalagi berharap. Aib dan kekurangan bukanlah acuan, selama kita mau berbenah. Kau memang perantara agar aku lebih dekat dengan Rabbku, tapi hanya sementara. Hal itu membuka kompetensi yang ricuh dalam hati. Akankah hati bersikeras menolak takdir? Tentu tidak.
Maaf jika kemarin tindakan ku menancapkan bekas pakuan yang tidak mungkin hirap. Begitu kelewatan. Bahkan berani mengutarakan “I Miss You orang baik”. Ternyata tafsiranku keliru. Kau bukan orang yang baik diakhir ceritaku. Begitupun sebaliknya. Tegas pernyataan ku untuk berhenti mendo’akanmu. Jahat bukan?! Aku yang berbisik pada bumi, tapi aku lebih menghargai lintas langit yang luas.
Sedih memang, tapi semoga ini awal yang baik. Setidaknya do’a berbumbu air mata di sepertiga malamku tak kembali dengan tangan kosong. Meskipun waktu ku sempat terbuang sebab menunggu pesan darimu hingga larut malam. Tidak jarang terlelap dalam dekapan penasaran. Kurang kerjaan banget kan?!
Imajinasiku melambung di tepi pintu rumah tangga. Bayangan yang kian menjelma menjadi sosokmu berhasil menenangkan lamunan. Pernah menjadi seseorang yang mendo’akanmu, menjadi seseorang yang paling cemburu selayaknya Zulaika yang cemburu pada tanah sebab Nabi Yusuf a.s selalu tertunduk ketika diajak bicara. Pernah jatuh hati dan pernah-pernah yang lain, tapi itu kemarin.
Anggaplah kekersamaan kemarin adalah pelajaran yang tidak perlu dilanjutkan. Begitupun denganku, karena melalui histori bisa membentuk marwah dan kedewasaan hati. Jatuh cinta sebagaimana matahari yang menjauhi bumi dengan alasan menjaga, memang terdengar dewasa. Tapi tetap ada luka meski tanpa menyapa.
Jika ada yang bertanya apa aku ikhlas melepasmu? Tidak. Mungkin benar, mengagumi adalah ungkapan yang paling tepat . Tanpa kabar, tanpa menghubungi bahkan tanpa mengganggu itu terkesan lebih menenangkan bukan?! Blokir, sampai ini masih ku usahakan agar terhindar dari melihat mu, childist memang tapi percayakan menjaga mental health itu lebih berharga daripada peduli orang sepertimu.
Jika kamu telah menemukan yang lain, sedewasa mungkin aku akan bersikap. Kadang hati juga mengomentari “Bahagia selalu ay!”. Benar dugaanmu, kau posesif, bahkan itu salah satu sifat yang kau sukai dariku. Sekarang prediksi trauma mungkin ada, tapi tidak dengan hal ini. Beratnya mempertahankan daripada membuka hati yang angker, menuai fiktif. Biar renjana ini mengelabuhi, aku takkan mengganggumu.
Terpenjara dalam dekapan
Renjana yang temaram
Menorah wiyata ephemeral
Andam karam lapisan nestapa
Mendekap sendu dalam melankolia
Diam-diam renjana menyelinap
Dengan angkuhnya menuang wiyata
Komentar
Posting Komentar