Peran Mukmin Sebagai Makhluk Sosial
Oleh: Siti Maulinni’mah (PD IPM Blora)
Sebagai umat Islam, secara fitrah telah dikaruniakan ilmu sejak lahir, seperti halnya filsafat. Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum menuturkan bahwa “Inti filsafat adalah pemikiran terhadap sesuatu yang menggunakan nalar.” Seiring perkembangan manusia kerap kali mendengar kicauan masyarakat mengenai peran manusia untuk apa diciptakan. Kemudian tak jarang pula kita mendengar celoteh “realita tak seindah ekspetasi”. Secara tidak sadar, kata tersebut bukan sekedar gurauan, hal tersebut memang nyata adanya di era yang semakin haus akan tahta namun juga krisis peka, sehingga banyak fenomena orang-orang termarginalkan ditengah masyarakat yang berkecukupan. Jika dilihat dari segi agama, mereka seiman dan mengamalkan apa yang menjadi kewajiban mereka.
“Setiap kader Muslim pasti mempunyai idealitas tentang tatanan sebuah masyarakat. Ketika idealitas itu ternyata tidak sesuai dengan realitas yang berkembang di masyarakat, itu namanya masalah (persoalan). Jadi, persoalan itu devisi antara idealitas vs realitas. Dakwah itu mesti hadir untuk memberi solusi atas masalah yang spesifik yang ada di daerah atau tempat kita berdakwah. Tidak bisa digebyah-uyah, digeneralisasi. Dakwah di suatu daerah tidak identik dengan datang dan ceramah.”
Bersinggungan dengan hal tersebut, kadang tersandung desas-desus jika Islam hanya berkutat tentang sholat, zakat, puasadan haji. Padahal, Islam yang kaffah bukan sekedar melakukan ritual peribadatan saja, namun merupakan serangkaian ibadah kepada Allah, melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan yang dapat mengundang murka Allah. Jadi istilahnya yang mencakup seluruh amal yang Allah cintai dan ridhoi baik dari segi ucapan, perbuatan yang terlihat maupun tidak terlihat, (niat dalam hati).
Mengenai ilmu filsafat dapat berkaitan dengan realita kehidupan sosial yang menyinggung peran manusia sebagai makhluk sosial. Dapat dikatakan bahwa setiap manusia mempunyai sifat humanisme yang harus diwujudkan dengan tindakan, salah satunya adalah sedekah/shodaqoh. Seperti yang kita ketahui sedekah adalah memberi apa yang kita punya kepada orang yang lebih membutuhkan tanpa mengharap imbalan ataupun pamrih dari orang yang kita beri. Karena hakikatnya tangan diatas itu lebih baik daripada tangan dibawah.
Namun sebelum kita melakukan amal, haruslah kita belajar adab/perilaku terlebih dahulu, kemudian mempelajari ilmu tentang harta, kemudian setelah mengetahui ilmu atau dalil yang mendasarinya, kita bisa menunaika apa yang telah kita pahami. Sumber ilmu tidak hanya di sekolah, kita bisa mengikuti seminar/ webinar, kajian-kajian, atau mengikuti komunitas yang didalamnya terdapat majelis ta’lim. Dengan begitu, diharapkan amal yang kita perbuat tidak menyalahi aturan syari’at, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, bahkan bisa bermanfaat dan menjadi suatu amal jariyah yang dapat di pertanggungjawabkan kelak.
Dari sini, timbulah pertanyaan yang mendasar yaitu, kenapa harus sedekah? Dan sedekah yang seperti apa?
“Yang penting, kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselara dengan realitas yang serasi dengan situasi actual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu, yaitu: Statement (pernyataan), Persesuaian (agreement), Situasi (Situation), Kenyataan (realitas), Putusan (judgements). Kebenaran tak cukup hanya diukur dengan rasio dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objektif, universal berlaku bagi seluruh umat manusia, Karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.”
Dari pemaparan tersebut salah satu usaha menemukan kebenaran adalah mengaca pada realitanya, karena tak jarang orang yang mengaku iman tapi tak berakhlak padahal dalam sisi kognitifnya mampu menyerap ilmu secara intelektual. Bahkan banyak orang yang memiliki ilmu tapi ia tak paham, dan ada orang yang paham namun ia tak mengamalkan. Sehingga mereka merasa tamak yang terlalu berharap lebih pada dunia, merasa hartanya selalu kurang dan melupakan apa tujuan mereka diciptakan. Padahal kerap kali kita mendengar bahwa rizeki, maut bahkan jodoh pun tidak akan tertukar, telah terpatri dalam takdir mubram dan tercatat di laufim mahfudz. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Adzariyat ayat 56 yang artinya “Tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Dalam perspekfektif islam, agama telah hadir sebagai rahmatallil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) yang menjadi solusi dari setiap masalah yang ada. Dalam Al-Qur’an pun telah membahas segala hal, tidak luput dari hal yang berkaitan dengan harta, mawaris, sedekah bahkan hutang piutang telah tertera dalam Al-Qur'an dan diperinci dalam hadits.
“Misi Nabi itu dijelaskan oleh al-Qur’an sebagai rahmat untuk semesta alam. “Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam” (Q. S. Al-Anbiya’(127): 2). Dan dijelaskan sendiri oleh Nabi dalam suatu riwayat hadits sahih: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (H.R. Bukhori).
Salah satu penawaran atau petunjuk dari Al-Qur’an yakni Allah memerintahkan untuk menginfakkan sebagian harta kita, karena secara tidak sadar ada hak orang lain didalamnya. Dan jangan takut miskin karena sedekah. Sedekah itu bagaikan air yang memadamkan api. Karena firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 276 yang artinya;
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah…”
Memusnahkan riba ialah mengurangi harta itu atau meniadakan berkahnya, sehingga uang sebanyak apapun akan kurang dan habis tanpa faedah. Sedangkan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan untuk sedekah atau melipat gandakan berkahnya, jadi mau seberapapun uang yang dimiliki akan merasa cukup, jika butuh selalu ada dan bermanfaat untuk sekitarnya. Misal, saat kita memberi makan orang yang kelaparan, meski sedikit tapi jika yang diberi itu sudah merasa cukup dan kenyang maka disitulah letak dari berkahnya. Selain bersedekah, kita dapat menolongnya. Dan jika disertai dengan niat yang ikhlas, tentu besar pahala juga yang kita dapatkan.
Melihat orang-orang termaginalkan tidak perlu jauh-jauh, dilingkungan terdekat sering ditemukan orang yang termaginalkan. Seperti halnya pengemis, gelandangan, pemulung, pengamen dan sebagainya. Dari contoh tersebut, banyak ladang pahala yang bias kita raih jika paham dan tanggap terhadap apa yang dilakukan melihat hal tersebut. Pada dasarnya, sedekah tidak hanya diperuntukkan orang yang kaya saja, tapi jika mampu, maka ia dianjurkan untuk sedekah. Karena harta yang diberikan merupakan harta yang akan menjadi milik kita di akirat kelak, tidak berkurang sedikitpun. Sedekah tersebut dapat menjadi bekal di hari yang tiada keraguan nanti. Jika setiap mukmin yang berkecukupan sadar dan peka akan posisi orang termajinalkan, seharusnya tidak ada sebutan lagi bagi orang termajinalkan. Karena dengan sedekah, Allah akan memberi berkah pada orangnya, baik penerima maupun pemberinya. Selain itu, angka kemiskinan dapat berkurang bahkan terangakat.
DaftarPustaka
Endraswara, Suwardi.2015.FilsafatIlmu (EdisiRevisi).Yogyakarta: PT BukuSeru
Prihantoro, Agung. 2015. Jejak Langkah Said Tuhuleley. Yogyakarta: Yayasan Shalahudin Laboratorium Dakwah.
Hosen, Nadirsyah. 2018. Islam Yes, Khilafah No!.Yogyakarta: Suka Press.
Komentar
Posting Komentar