Implementaasi Pelajar Membaca Realitas
Ditengah era digital, peran remaja menjadi indikator yang mendominasi dalam penggunaan media masa. Melalui jejaring sosialyang memudahkan membuat pola pikir mereka serba instan sehingga menurunkan kualitas diri mereka sendiri. Melihat realita ini memunculkan kesenjangan sosial yang berujung pada melemahnya kepekaan sosial. Di lingkungan sekitar, kita kerap kali menemukan orang-orang yang tertindas (termajinalkan) sebagai korban kapitalis. Namun tak sedikit dari kita yang memandang sebelah mata yang berujung penghinaan, karena lemahnya aspek sosial tadi.
Dari keterbelakangan beberapa aspek, seperti kurangnya pendidikan yang menyebabkan kebodohan. Dari kebodohan itu akan menimbulkan keterbelakangan sosial lainnya seperti kemiskinan sehingga muncul istilah kaum termajinalkan.
Sebagai seorang mukmin yang mempunyai etos semangat humanisme, seharusnya mengambil peran dalam membebaskan nasib yang termajinalkan tersebut, bukan menghujat mereka, berbuatan kasar, apalagi membuli mereka, karena hal itu tidak akanmenyelesaikan masalah tapi kesannya malah menyalahkan mereka yang sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan mereka.
Jika dilihat dari segi realitas bagaimana para kaum tertindas dapat merdeka dari belenggu kemiskinan, jika para pemegang kebijakan membatasi mereka. Tidak peduli terhadap nasib mereka. Bahkan kehadiran mereka dianggap sampah masyarakat. Kemudian menanggapi fenomena merosotnya keadilan seharusnya kita bisa memposisikan diri kita sebagai sahabat atau pendamping. Atau bisa dikatakan sebagai turun bawah agar kita tidak selalu jadi penonton tapi juga penuntun mereka yang kurang perhatian dari pemegang kebijakan.
Fajar Riza Ul Haq menuturkan:
“Salah satu langkah strategis untuk mengubah cara pandang dan mental yang sudah terlanjur mengakar tersebut adalah memunculkan kesadaran atau sikap partisipatif bahwa kemiskinan adalah produk dari ketiadaan akses dan ketimpangan distribusi sosial. Dalam pandangan Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi berkebangsaan India, kemiskina dan kelaparan sangat terkait erat dengan tidak berjalannya mekanisme demokrasi dinegara-negara berkembang. Pada saat kemiskinan telah merasuki sistem nilai dan perilaku masyarakat, pendidikan merupakan media yang tepat untuk membongkar pandangan fatalistik sekaligus menanamkan kesadaran kritis bahwa kemiskinan merupaakan permasalahan setruktural yang menunut tanggung jawab negara.”
Sebagai contoh kecil yang termasuk dalam orang-orang termaginalkan yakni gelandangan, pengemis, pemulung dan pengamen. Dengan sedikit kemampuan dan uluran tangan kita bisa membantu mereka. Entah itu dengan memberi kebutuhan pokok mereka seperti sembako, makanan, baju dan lain-lain. Jika diantara kaum tersebut ada diusia dini, kita bisa membawa mereka kedalam pantiasuhan agar mereka bisa mendapat hak pendidikan dan pemenuhan hak hidup lainnya sesuai kebutuhan. Karena anak muda adalah harapan bangsa, jika pemudanya tidak bisa diandalkan! lalu siapa lagi yang meneruskan kiprah perjuangan para pemimpin sekarang!?
Selain bantuan materi, kita bisa memberi jasa misal seseorang mengajari mereka pendidikan, meskipun itu hanya sekedar membaca, menulis, menghitung, mengaji atau kita bisa menyekolahkan mereka, jika kita memang mampu why not? jadi bisa dikatakan mereka ialah yang berjiwa besar, yang mengabdikan diri mereka dalam masyarakat, meski kadang tak sedikit yang menganggap remeh dengan pengorbanan tersebut. Kemudian ketika kita melakukan traveling, tak sedikitpedagang yang menyapa mulai dari penjual nasi, jajan tradisional, alat perabot, aksesoris dan lainnya. Jika kita merekalah kaum marjinal, demi rupiah mereka rela berjualan meski mereka tahu jika penghasilan seberapa.
Abdul Rosyid menjelaskan dalam karya tulisnya:
“Belanja dengan niat sedekah menyenangkan sebagian pedagang tersebut. Toh harga yang ditawarkan murah, jauh dibandingkan dengan harga di mal atau tempat yang bergengsi lainnyam Membeli daganagn dari pedagang asongan seperti di pelataran parkir parkit Candi Borobudur, dilampu-lampu merah persimpangan jalan yang kadag hanya menjajakkan kacang godog, pisang godog, kerupuk ataupun dagangan sederhana lainnya, jika diniati sedekah, tentu akan bernilai plus, baik kita memerlukan dagangan mereka ataupun mungkin kita tidak sedang memerlukannya.
Apalagi jika dengan sengaja kita melebihkan uang dari nominal belanja kita. Melebihkan Rp3.000,00 hingga Rp10.000,00 dengan cara tidak mengambil kembalian dari pedagang-pedagang tersebut, tidak akan memiskinkan kita. Namun, lihatlah keceriaan di wajah mereka, subhanallah.”
Jadi, menolong mereka tidak selalu terang-terangan, namun hal seperti itulah yang bisa mendorong energi positif demi mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Memiliki jiwa besar, berperilaku hidup sederhana, ramah, berkata baik dan membiasakan bersyukur barangkali menjadi solusi bagi yang berkeinginan tenteram. Dan menjadikan dunia ini tempat wasilah (mempertahankan hidup) bukan tujuan hidup karena tujuan setiap muslim yang sebenarnya ialah surga.
Adapun kiat-kiat para pelajar yang dapat dikembangkan dan dibudidayakan, agar dapat meningkatkanangka kemiskinan dan pengangguran. Membuat balai pelatihan seperti pelatihan menjahit, membuat kue, mendirikan bimbingan belajar bagi kaum buta huruf, mengajar bahasa inggris kepada anak-anak yang berusia dini, mengadakan TPQ gratis, atau memberi modal kepada para pejuang rupiah di pinggir jalan atau pemungut sampah dan lainnya.
Asghar Ali Engineer yang menyatakan:
“Dengan demikian tantangan kemiskinan ini harus dijawab dengan membangun struktur sosial yang bebas dari eksploitasi, penindasan dan konsentrasi kekayaan pada segelintir tangan saja. Dalam struktur sosial seperti ini, terdapat nilai kebenaran yang lain yaitu keadilan di bidang sosial, ekonomi, hukum dan politik. Keadilan dan keseimbangan ekonomi ini diperlukan, karena dengan demikian berarti kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal dan seterusnya dapat dipenuhi, sehingga kecenderungan gaya hidup boros dapat ditekan.”
Membaca realitas yang sulit diprediksi akan membutuhkan kesediaan intelektual yang fleksibel, tegas, loyal, berani dan bisa berfikir secara rasional sehingga tidak muncul persepsi “konsep tak seindah relita”. Pemikiran yang fleksibel yaitu bersedia menuntun tanpa melukai hati, namun juga harus tegas dan berani tanggap terhadap kebijakan pemerintah yang tidak sesuai harapan, dan bersedia memberi kontribusi dengan cara menghargai hak-hak orang lain dan tidak membeda-bedakan karena faktor materi, ras, suku, dan warna kulit semua berhak atas keadilan kesetaraan sosial.
Oleh karena itu, sebagai pelajar mulailah belajar respect dan belajar untuk membaca keadaan sosial, meskipun itu hanya sekedar prihatin namun dari hal sekecil itulah bisa membawa empati pada tindakan yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Misal sikap empati yang bisa diambil hikmahnya;
Ketika anda sedang jalan-jalan ketempat bersejarah di Semarang, yang dikenal dengan Lawang Sewu. Disitu anda menikmati keindahan dan eksotisnya bangunan. Dari segi peminatnya, ramai pengunjung. Ada yang selfie, hunting model, bercanda dengan keluarga, kerabat atau teman yang diajak, membeli makanan, ice cream, dan lainnya. Dan ternyata disitu ada seorang yang kumuh, kumel, kucel, bau dan tatanan rambut yang acak-acakan. Kemudian apa yang anda pikirkan? Dan action apa yang akan anda lakukan? Akankah kalian pura-pura tidak tahu? mlayu? ngguyu? Atau kalian lempar batu? Astagfirullahal’adzim.
Oleh: Siti Maulinni’mah (PD IPM Blora)
Copyright © 2021 Maos Corner Digital
Komentar
Posting Komentar