Hujan di Bulan Juni
Hujan Bulan Juni― Sapardi Djoko Damono
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
“Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai
mendoakan keselamatanmu”
ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu”
“The day will come
When my body no longer exists
But in the lines of this poem
I will never let you be alone
The day will come
When my voice is no longer heard
But within the words of this poem
I will continue to watch over you
The day will come
When my dreams are no longer known
But in the spaces found in the letters of this poem
I will never tired of looking for you”
“dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;
dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya;
dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya;
dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya”
―Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
“Kita berdua saja duduk,
Aku memesan ilalang panjang dan bunga rumput,
Kau entah memesan apa,
Aku memesan batu ditengah sungai terjal yang deras,
Kau entah memesan apa,
Tapi kita berdua saja duduk,”
―Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
“Sajak kecil tentang cinta"
Mencintai angin harus menjadi siul...Mencintai air harus menjadi ricik...
Mencintai gunung harus menjadi terjal...
Mencintai api harus menjadi jilat...
Mencintai cakrawala harus menebas jarak...
MencintaiMu harus menjadi aku”
“Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.”
“barangkali hidup adalah doa yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras. ia merasa Tuhan sedang memandangnya dengan curiga; ia pun bergegas.”
―Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
“Dalam Doaku"
Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu,
yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasiademi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku
Aku mencintaimu..
< Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu
(1989)”
―Sapardi Djoko Damono
“YANG FANA ADALAH WAKTU
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak, 1982”
―Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas
“Apa yang kau tangkap dari suara hujan
Dari daun-daun bugenvil yang teratur mengetuk jendel.
Apakah yang kau tangkap dari bau tanah
Dari ricik air yang turun di selokan”
―Sapardi Djoko Damono
“I want to love you simply, in words not spoken: tinder to the flame which transforms it to ash
I want to love you simply, in signs not expressed: clouds to the rain which make them evanescent (Aku Ingin-I Want)”
―Sapardi Djoko Damono“Aku Ingin"
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya debu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
―Sapardi Djoko Damono
“SEMENTRA KITA SALING BERBISIK"
Sementara kita saling berbisikUntuk lebih lama tinggal
Pada debu, cinta yang tinggal berupa
Bunga kertas dan lintasan angka-angla
Ketika kita saling berbisik
Di luar semakin sengit malam hari
Memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa unggun api
Sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi.
(1966)”
-Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
“Secangkir kopi yang dengan tenang menunggu kau minum itu tidak pernah mengusut kenapa kau bisa membedakan aromanya dari asap yang setiap hari kau hirup ketika berangkat dan pulang kerja di kota yang semakin tidak bisa mengerti kenapa mesti ada secangkir kopi yang tersedia di atas meja setiap pagi”
―Sapardi Djoko Damono
“DI RESTORAN"
Kita berdua saja, duduk. Aku memesanilalang panjang dan bunga rumput --
kau entah memesan apa. Aku memesan
batu ditengah sungai terjal yang deras --
kau entah memesan apa. Tapi kita berdua
saja, duduk. Aku memesan rasa sakit
yang tak putus dan nyaring lengkingnya,
memesan rasa lapar yang asing itu.
(1989)”
―Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
“JARAK"
dan Adam turun di hutan-hutan
mengabur dalam dongengan
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit; kosong sepi”
―Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
“Waktu berjalan ke Barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang.
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan.
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang,
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.”
―Sapardi Djoko Damono
“Aku mencintaimu.
Itulah sebabnya aku tak pernah berhenti mendoakanmu.”
―Sapardi Djoko Damono
“Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nantijasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari”
―Sapardi Djoko Damono
“Nasib memang diserahkan kepada manusia untuk digarap, tetapi takdir harus ditandatangani di atas materai dan tidak boleh digugat kalau nanti terjadi apa-apa, baik atau buruk.”
―Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
“Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar saputangan yang telah ditenunnya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang. Bagaimana mungkin. (66)”
― Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
tags: benang, kasih-sayang, sapu-tangan
Dan bukankah hatimu penuh dengan isi tetapi kosong?”
―Sapardi Djoko Damono, Trilogi Soekram
“Jakarta itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas. Jakarta itu kasih sayang.”
―Sapardi Djoko Damono
“...bahwa kasih sayang mengungguli segalanya menembus apa pun yang tidak bisa dipahami oleh pengertian pinggir jalan tidak akan bisa dicapai tidak bisa dibincangkan dengan teori metode dan pendekatan apa pun...”
―Sapardi Djoko Damono
“Nasib memang diserahkan kepada manusia untuk digarap, tetapi takdir harus ditandatangani di atas materai dan tidak boleh digugat kalau nanti terjadi apa-apa, baik atau buruk. Kata yang ada di Langit sana, kalau baik ya alhamdulillah, kalau buruk ya disyukuri saja. (20)”
―Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
“Kesepian adalah benang-benang halus ulat sutera yang perlahan-lahan, lembar demi lembar, mengurung orang sehingga ulat yang ada di dalamnya ingin segera melepaskan diri menjadi wujud yang sama sekali berbeda, yang bisa saja tidak diingat lagi asal-usulnya. Hanya ulat busuk yang tidak ingin menjadi kupu-kupu. (81)”
―Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
“Siapa pun memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan apa pun selama usahanya dilandasi oleh pengertian.”
―Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni
“Selalu ada saat ketika kita tidak sempat bertanya kepada sepasang kaki sendiri kenapa tidak mau berhenti sejak mengawali pengembaraan agar kita bisa memandang sekeliling dan bertahan semampu kita untuk tidak melepaskan air mata menjelma sungai tempat berlayar tukang perahu yang mungkin saja bisa memberi tahu kita, Ke san, Saudara, ke sana.”
―Sapardi Djoko Damono, Pingkan Melipat Jarak
Komentar
Posting Komentar